“Wajah Kusam Pendidikan di Daerah Perbatasan Indonesia – Serawak (Malaysia)”
( Sekolah Dasar
Negeri No. 11 Sekajang )
Sampai
detik ini pendidikan masih dipercaya sebagai salah satu jalan untuk
“memanusiakan Manusia” dan di belahan bumi manapun di dunia ini masih menyakini
hal tersebut. Dengan pendidikan, kualitas berpikir yang dimiliki manusia
menjadi jauh lebih baik serta mendorong terangkatnya harkat dan martabat
manusia itu sendiri. Pendidikan menjadikan manusia lebih bertanggungjawab
terhadap dirinya sendiri, orang lain, lingkungan, bahkan terhadap bangsa dan
negaranya.
Pendidikan
dan negara adalah dua hal yang sulit untuk dipisahkan, saling terkait dan
saling membutuhkan satu sama lainnya. Negara memiliki kepentingan terhadap
pendidikan itu sendiri, dimana negara membutuhkan “output” dari proses
pendidikan itu sendiri untuk memenuhi kebutuhan Sumber Daya Manusia (SDM) yang memadai
guna menjalankan roda kehidupan berbangsa dan bernegara tentunya.
Negara
punya kewajiban dan tanggungjawab dalam terpenuhinya kesempatan bagi setiap
warganya untuk bisa mengenyam pendidikan, dan tentunya pendidikan tersebut
adalah pendidikan yang berkualitas. Siapa pun dan dimanapun, selama masih dalam
wilayah teritorial negara dan bahkan di negara lain sekalipun, negara
berkewajiban untuk melindungi terpenuhinya pendidikan bagi warganya.
Berbicara
tentang kewajiban dan tanggungjawab negara, di Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang kita cintai ini, pendidikan juga mendapat tempat yang
istimewa. Hal tersebut terbukti dengan kini dicanangkannya program wajib
belajar 12 (dua belas) tahun, dari sebelumnya wajib belajar 9 (sembilan) tahun.
Ini membuktikan keseriusan pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi
warga negaranya, dan tentunya keseriusan itu disertai dengan besarnya anggaran
yang dikucurkan untuk membenahi sarana dan prasarana untuk mendukung proses
pendidikan yang diselenggarankan oleh negara.
Namun
ironisnya, pendidikan dengan kualitas yang layak masih belum sepenuhnya dapat
dinikmati oleh semua anak negeri. Masih banyak daerah di sudut-sudut negeri ini
yang belum memiliki sarana dan prasana pendidikan yang memadai. Disana masih
banyak kita temui gedung-gedung sekolah yang seadanya, buku-buku dan perpustakaan
yang seadanya dan bahkan tenaga pendidik yang masih sangat terbatas jumlahnya.
Kondisi
seperti itu bisa kita temui di Dusun Sekajang, Desan Suruh Tembawang, Kecamatan
Entikong, Kabupaten Sanggau, Propinsi Kalimantan Barat. Dusun Sekajang adalah
salah satu dari 3 (tiga) dusun, yakni Dusun Gun Tembawang dan Dusun Gun Jemak
di wilayah Desa Suruh Tembawang yang berada tepat di batas NKRI dengan Serawak
Malaysia, di sini wajah dunia pendidikannya masih muram.
Di
dusun-dusun tersebut negara sudah menghadirkan pendidikan, namun “negara” belum
“sepenuhnya” berada bersama masyarakat di sana atau ”mungkin” masih setengah
hati. Gedung Sekolah Dasar (SD) Inpres sudah direhabilitasi, namun kondisinya
hanya membaik sedikit, mungkin karena minimnya anggaran atau mungkin minimnya
pengawasan terhadap kontraktor yang
mengerjakannya (sepertinya memang tidak ada pengawasan), atau mungkin ada
kong-kalikong, entahlah yang jelas tidak ada yang tahu karena tidak ada
transparansinya.
( Perpustakaan Sekolah Dasar Negeri No. 11 Sekajang )
Kondisi
serupa juga terjadi pada gedung perpustakaan yang baru-baru ini dibangun, entah
bisa dipergunakan atau tidak, yang jelas kondisi fisik bangunannya tidak
seperti yang diharapkan. Kondisi fisik bangunannya saja belum rampung dikerjakan,
kontraktornya sudah lepas tangan dan celakanya kontraktornya adalah masyarakat
Desa Suruh Tembawang itu sendiri, ironis serta lucunya sekarang si oknum
tersebut saat ini sudah menjabat sebagai Kepala Desa Suruh Tembawang.
Masyarakat bersama wali murid yang tergabung dalam komite sekolah, kepala
sekolah beserta dewa guru sudah mempertanyakan kejelasan dan meminta
pertanggungjawaban kontraktor, namun tidak ada tanggapan yang berarti dan
kondisi fisik gedung masih tetap belum rampung dikerjakan. Mungkin karena
koneksi atau ada main mata, sampai saat ini tidak ada pemeriksaan, kalaupun ada
pengecekkan terhadap kondissi fisik bangunan, lagi-lagi “mungkin” hanya
sandiwara untuk pelipur lara hati masyarakat.
( Rumah Dinas Guru Sekolah Dasar Negeri No. 11 Sekajang )
Yang
paling parah kondisinya adalah rumah dinas guru, sejak dibangun sampai saat ini
belum pernah direhabilitasi. Kondisi rumahnya sangat memprihatinkan, padahal
yang menempatinya adalah guru (kepala sekolah) yang pernah bertemu langsung dan
mendapatkan piagam penghargaan dari Presiden Republik Indonesia sebagai guru
teladan, yakni bapak Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2008. Sebagai
masyarakat biasa kami hanya bisa menerka “mungkin” negara/pemerintah tidak
ingat dengan kami yang berada terlalu jauh di ujung negeri atau (lagi-lagi)
“mungkin” negara/pemerintah hanya fokus membenahi pedidikan di daerah-daerah
perkotaan sehingga anggaran pendidikannya tidak cukup untuk daerah-daerah
terpencil dan terisolir.
Sebagai
masyarakat kecil kami bingung harus mengadu kemana, hanya pasrah saja, ya hanya
itulah yang bisa dan sanggup kami lakukan. Yang kami tahu, kami masyarakat
perbatassan selalu dijadikan isu strategis bagi pihak-pihak tertentu untuk
mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompoknya. Kami ingin rasa nasionlisme
kami tidak selalu dipertanyakan, datanglah dan lihatlah kondisi kami yang
sebenarnya, jangan hanya menerka apalagi memponis bahwa kami tidak memiliki
nasionalisme.
Sebuah
kontrol atau pengawasan yang baik sangat kami harapkan dari negara/pemerintah
dalam melaksanakan setiap program di daerah kami. Jangan
hanya karena letak kami yang sangat terpencil dan bahkan terisolir dijadikan
alasan ketidak seriusan negara/pemerintah dalam memperhatikan kami, karena kami
juga sama warga Negara Kesatuan Republik Indonesia.